Jejak Kuliner Bali Kuno dalam Sajian Bubur Mengguh

Jejak Kuliner Bali Kuno dalam Sajian Bubur Mengguh – Bali selalu identik dengan pariwisata, pantai, dan budaya yang mendunia. Namun, di balik itu semua, pulau ini menyimpan kekayaan kuliner tradisional yang berakar kuat pada sejarah dan kepercayaan masyarakatnya. Salah satu sajian khas yang sarat makna budaya adalah Bubur Mengguh, hidangan bubur yang hingga kini masih dilestarikan dalam upacara adat maupun kegiatan sehari-hari.

Bubur Mengguh bukan sekadar makanan, melainkan representasi dari filosofi, tradisi, dan jejak kuliner Bali kuno. Rasa gurihnya yang khas serta penyajiannya yang unik membuat hidangan ini berbeda dari bubur pada umumnya. Dari generasi ke generasi, Bubur Mengguh telah menjadi saksi perjalanan budaya masyarakat Bali, terutama di daerah Buleleng, yang dikenal sebagai daerah asalnya.


Sejarah dan Filosofi Bubur Mengguh

Bubur Mengguh diyakini sudah ada sejak zaman Bali kuno ketika masyarakat menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok yang erat kaitannya dengan ritual keagamaan. Bubur, dalam banyak kebudayaan Nusantara, bukan hanya makanan tetapi juga persembahan. Di Bali, bubur memiliki simbol kesucian dan kerendahan hati, sehingga kerap digunakan dalam upacara keagamaan Hindu.

Nama “Mengguh” sendiri berasal dari bahasa Bali yang berarti “dituang” atau “disiram”. Hal ini merujuk pada cara penyajiannya, yaitu bubur putih yang kemudian disiram dengan kuah ayam berbumbu rempah khas Bali. Filosofi dari sajian ini adalah keseimbangan: bubur yang sederhana berpadu dengan kuah kaya rempah sebagai simbol harmonisasi antara kesederhanaan hidup dan kekayaan spiritual.

Dalam catatan budaya, Bubur Mengguh sering dihidangkan dalam upacara adat seperti odalan (hari raya pura), metatah (potong gigi), hingga upacara ngaben (pitra yadnya). Kehadirannya bukan semata untuk konsumsi, tetapi juga sebagai persembahan kepada para leluhur dan dewa.


Ciri Khas dan Keunikan Rasa

Bubur Mengguh memiliki keunikan yang membuatnya berbeda dengan bubur ayam atau bubur tradisional lain di Indonesia.

Beberapa ciri khasnya antara lain:

  • Bubur putih lembut: dibuat dari beras yang dimasak hingga teksturnya halus dan kental.

  • Kuah ayam berbumbu: disiramkan di atas bubur, kuah ini kaya akan rempah seperti bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe, serta santan.

  • Taburan urap sayur: biasanya berupa sayur kacang panjang, bayam, atau kangkung yang diberi kelapa parut berbumbu.

  • Taburan ayam suwir: daging ayam yang dimasak bersama bumbu basa gede (bumbu dasar khas Bali) lalu disuwir halus.

  • Pelengkap lawar dan sambal: menambah rasa pedas sekaligus memperkaya cita rasa.

Kombinasi bubur putih yang netral dengan kuah gurih-rempah membuat Bubur Mengguh terasa seimbang. Kehangatan rempahnya juga memberi sensasi menenangkan, cocok disantap di pagi hari atau dalam suasana upacara adat.


Bubur Mengguh dalam Tradisi Bali

Bubur Mengguh tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ritual masyarakat Bali. Dalam setiap odalan, bubur ini menjadi sajian wajib yang dibagikan kepada umat setelah prosesi persembahyangan. Hidangan ini dipercaya membawa keberkahan, sebab berasal dari bahan dasar beras—simbol kemakmuran yang dijaga oleh Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan.

Selain itu, Bubur Mengguh juga berfungsi sebagai media perekat sosial. Saat ada upacara adat, masyarakat setempat akan bergotong royong memasak bubur ini dalam jumlah besar. Proses memasak bersama memperkuat ikatan kekeluargaan dan solidaritas antarwarga.

Di beberapa daerah Bali, Bubur Mengguh juga menjadi bagian dari ritual pitra yadnya. Sajian ini melambangkan penghormatan kepada leluhur yang telah tiada, sekaligus doa untuk kesejahteraan keturunan yang masih hidup.


Perjalanan dari Tradisi ke Meja Makan Modern

Seiring perkembangan zaman, Bubur Mengguh tidak hanya disajikan dalam upacara adat, tetapi juga hadir sebagai hidangan sehari-hari. Banyak rumah makan tradisional di Buleleng dan daerah lain di Bali yang menjadikan Bubur Mengguh sebagai menu andalan. Bahkan, beberapa hotel berbintang kini mulai memperkenalkan hidangan ini kepada wisatawan sebagai bagian dari promosi kuliner lokal.

Namun, keberadaan Bubur Mengguh di luar konteks ritual seringkali menimbulkan tantangan. Beberapa orang berpendapat bahwa nilai sakral dari hidangan ini bisa berkurang jika terlalu sering dikomersialisasikan. Meski demikian, sebagian besar masyarakat tetap menganggap bahwa penyebaran Bubur Mengguh di dunia kuliner modern justru memperkuat eksistensinya.

Selain itu, inovasi juga dilakukan oleh para juru masak untuk memperkenalkan Bubur Mengguh kepada generasi muda. Beberapa variasi baru muncul, seperti penggunaan ayam kampung organik, tambahan telur pindang, atau penyajian dengan plating modern. Meskipun tampil lebih kekinian, cita rasa asli berbasis rempah Bali tetap dipertahankan.


Nilai Budaya dan Identitas Kuliner Bali

Bubur Mengguh bukan hanya soal rasa, tetapi juga identitas. Ia menjadi representasi bagaimana masyarakat Bali menjaga warisan kuliner kuno agar tetap hidup di tengah arus globalisasi. Melalui satu mangkuk Bubur Mengguh, kita bisa merasakan perpaduan sejarah, filosofi, dan kebersamaan yang sudah berakar sejak berabad-abad lalu.

Bagi wisatawan, mencicipi Bubur Mengguh bukan hanya pengalaman kuliner, tetapi juga perjalanan budaya. Hidangan ini membuka ruang pemahaman bahwa kuliner tradisional Bali bukan sekadar makanan, melainkan bagian penting dari spiritualitas dan kehidupan sosial masyarakat.


Kesimpulan

Bubur Mengguh adalah jejak kuliner Bali kuno yang hingga kini tetap bertahan sebagai bagian penting dari budaya dan tradisi. Dari filosofi yang terkandung di dalamnya, rasa khas yang gurih-rempah, hingga fungsinya dalam upacara adat, Bubur Mengguh menghadirkan harmoni antara kesederhanaan dan kekayaan budaya Bali.

Dalam konteks modern, Bubur Mengguh tidak hanya sekadar makanan sakral, tetapi juga telah menjelma menjadi ikon kuliner Bali yang siap dikenalkan ke dunia. Keberadaannya mengingatkan kita bahwa makanan tradisional bukan sekadar pengisi perut, melainkan warisan budaya yang harus dijaga dan diwariskan.

Dengan menjaga dan melestarikan Bubur Mengguh, masyarakat Bali tidak hanya mempertahankan identitas kuliner mereka, tetapi juga memastikan bahwa jejak sejarah leluhur tetap hidup di setiap suapan bubur yang hangat dan penuh makna.

Scroll to Top